Halaqah Santri Nusantara, Menag Ajak Santri Bersyukur Menjadi Bagian Dari Indonesia
By Admin
nusakini.com--Mengawali penyampaiannya pada Halaqah Santri Nusantara yang digelar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (28/03), Menag Lukman Hakim Saifuddin bertanya kepada para santri dan mahasiswa yang hadir tentang siapa tokoh idolanya selain Nabi Muhammad SAW.
Seketika berhamburan nama-nama tokoh idola yang mereka sampaikan, ada sosok mantan Presiden RI Gus Dur, kiai dan juga budayawan Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, Pahlawan Nasional Agus Salim, hingga KH Imam Zarkasyi salah satu pendiri Gontor.
Menag juga tak lupa bertanya tentang siapa sosok Milea juga Dilan, dan seketika serentak hampir seluruh santri mahasiswa mengatakan tahu.
Menag bercerita, pagi tadi dirinya sempat memposting di twitternya sebuah ungkapan.."Hidup itu dijalani dengan 2 cara, bersyukur dan/atau bersabar. Kalau tak bisa bersyukur, bersabarlah. Kalau tak bisa bersabar bersyukurlah. Kalau tak bisa keduanya, terus mau hidup dengan cara apa? .
Dikatakan Menag, unggahan atau postingan tersebut mengajak kita bagaimana bersyukur dengan yang kita alami yang jauh lebih baik nikmat dan hal positif dibanding era generasi dahulu kita.
Menag mengajak untuk mengedepankan rasa syukur terhadap eksistensi kita sebagai bagian dari tak terpisahkan dari bangsa Indonesia.
"Kita menjadi Indonesia bukan kemauan kita, mengapa bukan bagian dari negara lain, koq Indonesia, ini bukan pilihan kita, tapi takdir Tuhan. Jadi kita ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi bagian bangsa Indonesia," ujar Menag pada Halaqah Santri Nusantara yang dihadiri civitas akademika UIN Sunan Kalijaga.
"Saya ingin katakan, betapa bangsa ini begitu religius. Inilah kita, dan ini sejak ratusan tahun lalu, dan Tuhan mentakdirkan kita menjadi bagian dari bangsa religius ini," lanjutnya.
“Oleh karenanya di awal pertemuan ini, saya ingin mengajak dan mengawali dengan syukur menjadi bangsa Indonesia, bangsa yang agamis dan majemuk. Dua hal, religiusitas dan keberagamannya, dan sebenarnya (religiusitas dan keberagaman) miniaturnya ada di pondok pesantren,” ucap Menag.
Menag menyampaikan, ciri lain santri adalah memiliki kecintaan luar biasa kepada Tahah Air. Menurutnya, ini hasil tempaan pendahulu kita.
“Santri bagian inti dari bagaimana menjaga keindonesiaan kita, bangsa yang tidak bisa dipisahkan dari nilai agama dalam menjalani kehidupannya,” tuturnya.
Disampaikannya, santri diharapkan mampu mengusung moderasi agama, yaitu Islam yang moderat bukan yang ekstrim, dan ini semakin relevan dengan kondisi saat ini.
Oleh karenanya, kata Menag, santri yang punya tradisi hidup dalam kemajemukan, kemajemukan adalah cara Tuhan menurunkan keberkahan untuk saling melengkapi bukan saling menegasikan. Ini harus dipahami para santri, mahawasiswa, tentang Islam moderat.
“Inilah menurut hemat saya yang harus jadi pegangan kita, dan bersyukur pemerintah berkomitmen menempatkan santri pada posisinya untuk bagaimana menjaga eksistensi bangsa. Hari Santri ditetapkan dengan harapan santri mampu berkontribusi bagi masa depan bangsa,” ucapnya.
Menag menambahkan, penetapan Hari Santri sebagai wujud pemberian tanggung jawab bagi kalangan santri bagi nasib bangsa ini ke depan, jadi bukan sekedar pengakuan, tapi harus dimaknai sebagai tanggung jawab bagi bangsa ini.
Menag dalam kesempatan tersebut menyerahkan secara simbolis Bantuan Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Kementerian Agama Tahun 2018 dilanjutkan dengan Deklarasi Ngayogyakarta Dari Santri Untuk NKRI.
Hadir, Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin, Dirjen Bimas Islam Muhammadiyah Amin, Rektor UIN Yogyakarta Yudian Wahyudi, Staf Khusus Menag Hadirrahman, Direktur PD Pontren Ahmad Zayadi, Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Mastuki, Kakanwil Kemenag Yogyakarta M. Lutfi Ahmad, serta civitas akademika UIN Yogyakarta.(p/ab)